
Dengung Tempit beserta pengikutnya yang setia ikut ke Ampenan, dan dirumahkan. Keberadaan lebih spesifik tempat Dengung Tempit dirumahkan belum diketahui sampai sekarang. Yang jelas Bahasa Dengung Tempit pada saat itu sama dengan Bahasa Keselet saat ini dan alasan pada saat itu Dengung Tempit dirumahkan di Ampenan adalah agar mudah diawasi. Sedangkan pada saat itu adik dari Dengung Tempit yaitu Dengung Patriaji tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan kerajaan Karang Asem, sehingga ia memutuskan untuk kabur ke Lombok Timur beserta pengikutnya. Pada saat itu ia membawa Al- Qur’an bertuliskan tangan dan Gong. Para pasukan Dengung Patriaji inilah yang menempati suatu daerah tanpa nama pada saat itu. Pasukan ini tinggal di dataran tinggi dan sekitaran sungai di daerah tersebut, alasannya agar mudah melakukan aktivitas sehari hari. Karena dirasa semakin nyaman tinggal di daerah tersebut, Dengung Patriji dan pasukannya tertarik ingin menetap di daerah tersebut, ia pun berniat meminta izin kepada Datu Sakre atau Raja Sakre dari Kerajaan Sakra untuk menetap. Mendengar permintaan Dengung Patriaji, Raja Sakre menyambut baik dan menerima permintaan Dengung Patriaji untuk menetap di daerah tersebut dan raja memberikan nama daerah tersebut dengan nama Keselet secara sepontan. Pada saat itu desa Songak dan Rumbuk sudah ada.
Perlu diketahui Dengung Patriaji di makamkan di Maronggek. Kisah ini telah disebutkan ato diabadikan pada monografi NTB.